Sabtu, 23 November 2013

Sejarah Kesenian Ternate

Hallo teman-teman yang baik hati nya hehe :D
Saya hadir lagi nih, dalam postingan ini saya ingin meng-share tentang kesenian yang berasal dari kota asal saya, yaitu Ternate, Maluku Utara. Tau kan iu dimana? Kalo kalian belajar sejarah waktu sekolah, pasti kalian tau deh heehe :D So, langsung saja saya persembahkan ini sebuah artikel tentang Sejarah Kesenian Ternate. Check it out.....



Ternate pada abad pertengahan, selain dikenal sebagai kerajaan terkemuka, merupakan salah satu pulau penghasil utama tanaman cengkih (Eugenia aromatic), disamping Tidore, Moti, Makian, dan Bacan. Cengkih berasal dari pulau-pulau tersebut, dan sangat digandrungi terutama oleh bangsa Cina, Gujarat serta Eropa. Sejak zaman kuno, cengkih merupakan salah satu komoditas perdagangan Internasional.
Orang-orang Eropa menggunakan cengkih untuk parfum, pengobatan, penyedap makanan, dan pemancing selera. Bubuk cengkih juga digunakan sebagai obat hirup dan aksesoris bagi golongan menengah ke atas. Dipasar Eropa, cengkih laku keras dan sangat mahal. Itulah sebabnya, banyak Bangsa Eropa datang ke Ternate untuk melakukan penjajahan. Namun tidak semudah yang dibayangkan para penjajah itu. Rakyat Ternate tentunya melakukan perlawanan. Misalnya dengan tarian cakalele yang merupakan tarian perang. Bukan hanya tarian cakalele saja ada juga tarian soya-soya. Tarian soya-soya merupakan tarian perang yang dulunya dipimpin oleh Sultan Babullah untuk menyerang benteng Portungis yaitu benteng Kastela.
Masyarakat Ternate juga dikenal ramah. Hal ini didukung oleh adanya sastra lisan yaitu dalil bololo, dimana dalil bololo ini dipakai apabila seseorang ingin menyampaikan perasaannya. Yang dalam penyajiannya menggunakan sidiran dan tamsil agar seseorang tersebut tidak tersinggung.
Ada juga pertujukan khas dari Ternate. Misalnya Legu Gam. Legu gam atau Pesta rakyat ini dilakukan bukan hanya semata-mata untuk berpesta saja. Namun terdapat banyak manfaat yang ada pada Legu Gam ini. Masyarakat yang datang di Legu Gam akan menambah pengetahuan akan budaya, sejaarah, seni yang dimiliki di Ternate. Selain itu dapat menjalin persaudaraan yang kokoh antara masyarakat ternate, dan dapat berbaur dengan masyarakat dari luar Ternate yang mengunjungi Legu Gam. Dengan adanya Legu Gam diharapkan agar masyarakat dapat melestarikan budaya dan dapat meningkatkan pariwisata kota Ternate.

I.        TARIAN

A.        LEGU-LEGU
Ciri utama dari kesenian tradisional orang Ternate adalah bentuk seni konvensional. Berdasarkan ciri-cirinya, kesenian tradisional di Ternate dibagi atas dua kelompok, yaitu : Kesenian Istana/keraton (Hofkunst) dan Kesenian Rakyat (Volkskunst).
Kesenian Istana adalah kelompok kesenian yang dicipta ataupun dibina, dikembangkan oleh dan untuk kalangan keraton kesultanan. Umumnya merupakan kelengkapan adat yang bersifat ritual maupun seremonial. Sedangkan Kesenian Rakyat yaitu kelompok kesenian yang dicipta ataupun dibina, dikembangkan oleh dan untuk kalangan masyarakat umum. Kesenian istana telah ada sejak zaman pra-Islam (tetapi ada pula yang hadir pasca-Islam), yakni dalam bentuk seni tari dan seni suara. Di Ternate, perpaduan dari kedua bentuk ini terwujud dalam sebuah tarian klasik yang bersifat ritual, yaitu “Legu-legu”.
Tarian Legu-legu hanya terdapat dan hanya dipentaskan dilingkungan keraton Ternate saja. Tarian ini bukan merupakan tarian tunggal yang hanya dibawakan oleh 1 orang penari melainkan dilakukan oleh lebih dari 5 orang penari, bahkan bisa sampai 25 orang penari secara serentak.
Para penari yang terdiri dari gadis-gadis muda dan “harus” masih perawan / belum menikah. Ketentuan ini mengandung makna bahwa Legu-legu mempunyai sifat sakral. Para penari merupakan medium yang masih suci. Kadang ada satu atau lebih penari yang melakukan gerakan, tidak dalam keadaan sadar / dirasuki roh nenek moyang. Tarian legu-legu ini hanya dipentaskan pada saat-saat tertentu dengan pertimbangan utamanya harus bersifat ritual dan mempunyai keterkaitan dengan adat keramat keraton.
Yang unik dari tarian klasik milik keraton kesultanan Ternate ini adalah bahwa para penari yang membawakannya hanya boleh berasal dari keturunan soa/marga “Soangare” atau “Soa Ngongare” saja. Soangare merupakan salah satu klan dari kelompok kekerabatan khas Ternate yang walaupun secara genealogis bukan keturunan sultan, namun klan ini sangat dekat dikalangan istana karena marga soangare sejak dahulu merupakan salah satu klan yang menjadi “abdi dalem” yang sangat setia di keraton kesultanan Ternate.
Tarian legu-legu ini biasanya disebut juga dengan sebutan “Legu Kadato”. Tarian ini dibawakan sambil diiringi dengan orkes tabuh khas Maluku yang terdiri atas; 2 buah tifa kecil, 1 gong tembaga dan didampingi 2 orang penyanyi wanita setengah baya. Biasanya lirik yang dinyanyikan berasal dari syair-syair kuno berbahasa Ternate yang dikutip dari sastra lisan Ternate, yaitu Dola bololo, Dalil Tifa, Dalil Moro.
Tarian Legu-legu ini merupakan satu-satunya tarian ritual dalam istana kesultanan Ternate. Menurut sumber dari pihak kesultanan Ternate, sebenarnya ada 12 macam atau variasi dari tarian ini dengan 12 lagu untuk masing-masing jenis. Namun sayangnya, saat ini yang dipentaskan hanya beberapa jenis Legu-legu saja yang tersisa, misalnya : Akilindo, Bombaka, dan Dansapele.
Pada masa kini, tarian Legu-legu yang sakral ini hanya dipertunjukan dalam rangka upacara kebesaran adat keraton Ternate, yaitu pada saat upacara Penobatan Sultan (yang disebut Sinonako Jou Kolano), pengesahan/penetapan isteri Sultan sebagai “Permaisuri” (yang disebut Sinonako Jou ma Boki), Ulang Tahun Sultan, Penyambutan Tamu Agung di keraton.
Akhir-akhir ini sering dipertunjukan dalam kegiatan rutin 2 tahunan yaitu pada setiap perhelatan Festival Keraton se-Nusantara yang pelaksanaannya berpindah-pindah tempat di setiap keraton dari anggota Festival tersebut.

B.     CAKALELE
1.       Pendahuluan.
Telah menjadi suatu tradisi sejak zaman penjajahan Belanda, cakalele “modern” dijadikan sebagai tarian menyambut tamu-tamu agung bila berkunjung ke wilayah-wilayah Maluku. Tarian cakalele merupakan suatu bentuk penghormatan kepada para tamu karena telah berkenan menginjakkan kakinya dibumi Moloku kie Raha. Upaya menjelaskan pengertian “cakalele” ini, sekedar sebagai suatu penjelasan menurut bahasa setempat (Ternate), sesuai dengan makna dan fungsinya.

2.       Cakalele Menurut Pengertian Sempit.
Cakalele adalah suatu penampilan ujicoba ketahanan jiwa dan raga dalam upaya mempertinggi mental dan fisik seorang “baru-baru” (prajurit kerajaan). Pada masa pra-kemerdekaan tarian cakalele ini biasanya dilaksanakan dalam suatu upacara yang disebut dengan “Legu Kie Se Gam”. Pada pelaksanaan upacara tersebut, seluruh suku bangsa yang telah bergabung dibawah panji kekerajaarn Ternate turut mengambil bagian serta memperlihatkan ketangkasan dan kebolehannya dalam penguasaan ilmu perang yang dipertandingkan antara suku bangsa di depan sang raja. Di dalam penampilan ini, masing-masing ingin memperlihatkan ketangkasannya kepada raja dengan ambisi masing-masing atas fungsinya di kerajaan.
Para peserta ini berasal dari berbagai suku, klan/marga, yang menyertakan petarung terbaik mereka yang berasal dari seluruh penjuru kerajaan Ternate. Disini benar-benar terlihat cakalele ditampilkan secara sungguh-sungguh, karena mereka bertarung dengan sesungguh-sungguhnya. Kebiasaan ini kemudian ditampilkan pada acara resmi lainnya dan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai “Tarian Perang”.

3.       Cakalele Menurut Ethimology.
Menurut etimologi bahasa Ternate, cakalele terdiri dari dua kata yaitu “caka” dan ”lele”. Caka artinya “setan” dan Lele artinya “mengamuk”, jadi Cakalele artinya “Setan Mengamuk”. Pengertian setan disini, yaitu seseorang yang jiwanya dirasuk setan.
Bila seseorang jiwanya telah dirasuki setan, maka ia tidak takut kepada siapapun dan ia telah haus akan darah manusia. Dengan demikian bahwa cakalele didalam peperangan ataupun ujicoba ketahanan jiwa raga seseorang dalam Legu Kie Se Gam, berbeda dengan cakalele yang sekedar ditampilkan pada upacara resmi lainnya.
Pada upacara resminya, penampilan atraksi serupa cakalele biasanya disebut “Hasa”, tetapi karena pertarungannya sama dengan cakalele, maka akhir-akhir ini seringkali disebut juga cakalele. Bedanya, Hasa adalah hanya merupakan suatu atraksi menyerupai cakalele tetapi para pelaku Hasa sadar didalam pertarungan karena jiwanya tidak dirasuki setan.

4.       Peralatan Cakalele.
Peralatan cakalele terdiri dari: parang (pedang), sagu-sagu (tombak), salawaku (perisai). Pada parang atau tombak biasanya terhias selembar lilitan kain merah yang dipercaya mengandung kekuatan gaib. Begitu pula dengan salawaku, biasanya dihiasi dengan pecahan porselen piring atau kerang laut yang berbentuk angka-angka kembang. Angka-angka kembang itulah suatu angka perhitungan menurut kepercayaan sebagai jimat yang mempan menangkis serangan musuh. Musik yang mengiringi atraksi cakalele disebut “Tepe-tepe”, yang peralatannya terdiri dari dua buah tifa dan sebuah gendering. Penalu tepe-tepe terdiri dari tiga orang.

5.       Cakalele Dalam Peperangan.
Seseorang yang dalam menghadapi peperangan ia telah siap dengan parang atau tombak beserta salawaku dengan mata terbelalak kemerahan berlari menuju musuh serta merta berteriak “Aulee… Aulee.. Aulee…” yang artinya “darah, membanjirlah!”. Maka terjadilah bunuh membunuh sesuai dengan kemauan setan.
Kebiasaan si pelaku apabila telah mencapai kemenangan, ia harus meminum darah salah satu musuhnya atau cukup dengan menjilati parang yang telah dibanjiri darah musuh. Dipercaya agar musuh yang sudah dikalahkan tidak menghantui si pelaku selama masih hidup.

 
;