Saya hadir lagi nih, dalam postingan ini saya ingin meng-share tentang kesenian yang berasal dari kota asal saya, yaitu Ternate, Maluku Utara. Tau kan iu dimana? Kalo kalian belajar sejarah waktu sekolah, pasti kalian tau deh heehe :D So, langsung saja saya persembahkan ini sebuah artikel tentang Sejarah Kesenian Ternate. Check it out.....
Ternate pada abad
pertengahan, selain dikenal sebagai kerajaan terkemuka, merupakan salah satu
pulau penghasil utama tanaman cengkih (Eugenia aromatic), disamping Tidore,
Moti, Makian, dan Bacan. Cengkih berasal dari pulau-pulau tersebut, dan sangat
digandrungi terutama oleh bangsa Cina, Gujarat serta Eropa. Sejak zaman kuno,
cengkih merupakan salah satu komoditas perdagangan Internasional.
Orang-orang Eropa
menggunakan cengkih untuk parfum, pengobatan, penyedap makanan, dan pemancing
selera. Bubuk cengkih juga digunakan sebagai obat hirup dan aksesoris bagi
golongan menengah ke atas. Dipasar Eropa, cengkih laku keras dan sangat mahal.
Itulah sebabnya, banyak Bangsa Eropa datang ke Ternate untuk melakukan
penjajahan. Namun tidak semudah yang dibayangkan para penjajah itu. Rakyat
Ternate tentunya melakukan perlawanan. Misalnya dengan tarian cakalele yang
merupakan tarian perang. Bukan hanya tarian cakalele saja ada juga tarian
soya-soya. Tarian soya-soya merupakan tarian perang yang dulunya dipimpin oleh
Sultan Babullah untuk menyerang benteng Portungis yaitu benteng Kastela.
Masyarakat Ternate
juga dikenal ramah. Hal ini didukung oleh adanya sastra lisan yaitu dalil
bololo, dimana dalil bololo ini dipakai apabila seseorang ingin menyampaikan
perasaannya. Yang dalam penyajiannya menggunakan sidiran dan tamsil agar seseorang
tersebut tidak tersinggung.
Ada juga pertujukan
khas dari Ternate. Misalnya Legu Gam. Legu gam atau Pesta rakyat ini dilakukan
bukan hanya semata-mata untuk berpesta saja. Namun terdapat banyak manfaat yang
ada pada Legu Gam ini. Masyarakat yang datang di Legu Gam akan menambah
pengetahuan akan budaya, sejaarah, seni yang dimiliki di Ternate. Selain itu
dapat menjalin persaudaraan yang kokoh antara masyarakat ternate, dan dapat
berbaur dengan masyarakat dari luar Ternate yang mengunjungi Legu Gam. Dengan
adanya Legu Gam diharapkan agar masyarakat dapat melestarikan budaya dan dapat
meningkatkan pariwisata kota Ternate.
I.
TARIAN
A.
LEGU-LEGU
Ciri utama dari kesenian tradisional orang Ternate adalah
bentuk seni konvensional. Berdasarkan ciri-cirinya, kesenian tradisional di
Ternate dibagi atas dua kelompok, yaitu : Kesenian Istana/keraton (Hofkunst)
dan Kesenian Rakyat (Volkskunst).
Kesenian Istana adalah kelompok kesenian yang dicipta
ataupun dibina, dikembangkan oleh dan untuk kalangan keraton kesultanan.
Umumnya merupakan kelengkapan adat yang bersifat ritual maupun seremonial. Sedangkan Kesenian Rakyat yaitu kelompok kesenian yang
dicipta ataupun dibina, dikembangkan oleh dan untuk kalangan masyarakat umum. Kesenian istana telah ada sejak zaman pra-Islam (tetapi
ada pula yang hadir pasca-Islam), yakni dalam bentuk seni tari dan seni suara.
Di Ternate, perpaduan dari kedua bentuk ini terwujud dalam sebuah tarian klasik
yang bersifat ritual, yaitu “Legu-legu”.
Tarian Legu-legu hanya terdapat dan hanya dipentaskan
dilingkungan keraton Ternate saja. Tarian ini bukan merupakan tarian tunggal
yang hanya dibawakan oleh 1 orang penari melainkan dilakukan oleh lebih dari 5
orang penari, bahkan bisa sampai 25 orang penari secara serentak.
Para penari yang terdiri dari gadis-gadis muda dan
“harus” masih perawan / belum menikah. Ketentuan ini mengandung makna bahwa
Legu-legu mempunyai sifat sakral. Para penari merupakan medium yang masih suci.
Kadang ada satu atau lebih penari yang melakukan gerakan, tidak dalam keadaan
sadar / dirasuki roh nenek moyang. Tarian legu-legu ini hanya dipentaskan pada
saat-saat tertentu dengan pertimbangan utamanya harus bersifat ritual dan
mempunyai keterkaitan dengan adat keramat keraton.
Yang unik dari tarian klasik milik keraton kesultanan
Ternate ini adalah bahwa para penari yang membawakannya hanya boleh berasal
dari keturunan soa/marga “Soangare” atau “Soa Ngongare” saja. Soangare
merupakan salah satu klan dari kelompok kekerabatan khas Ternate yang walaupun
secara genealogis bukan keturunan sultan, namun klan ini sangat dekat
dikalangan istana karena marga soangare sejak dahulu merupakan salah satu klan
yang menjadi “abdi dalem” yang sangat setia di keraton kesultanan Ternate.
Tarian legu-legu ini biasanya disebut juga dengan sebutan
“Legu Kadato”.
Tarian ini dibawakan sambil
diiringi dengan orkes tabuh khas Maluku yang terdiri atas; 2 buah tifa kecil, 1
gong tembaga dan didampingi 2 orang penyanyi wanita setengah baya. Biasanya
lirik yang dinyanyikan berasal dari syair-syair kuno berbahasa Ternate yang
dikutip dari sastra lisan Ternate, yaitu Dola bololo, Dalil Tifa, Dalil Moro.
Tarian Legu-legu ini merupakan satu-satunya tarian ritual
dalam istana kesultanan Ternate. Menurut sumber dari pihak kesultanan Ternate,
sebenarnya ada 12 macam atau variasi dari tarian ini dengan 12 lagu untuk
masing-masing jenis. Namun sayangnya, saat ini yang dipentaskan hanya beberapa
jenis Legu-legu saja yang tersisa, misalnya : Akilindo, Bombaka, dan Dansapele.
Pada masa kini, tarian Legu-legu yang sakral ini hanya
dipertunjukan dalam rangka upacara kebesaran adat keraton Ternate, yaitu pada
saat upacara Penobatan Sultan (yang disebut Sinonako Jou Kolano),
pengesahan/penetapan isteri Sultan sebagai “Permaisuri” (yang disebut Sinonako
Jou ma Boki), Ulang Tahun Sultan, Penyambutan Tamu Agung di keraton.
Akhir-akhir ini sering dipertunjukan dalam kegiatan rutin
2 tahunan yaitu pada setiap perhelatan Festival Keraton se-Nusantara yang
pelaksanaannya berpindah-pindah tempat di setiap keraton dari anggota Festival
tersebut.
B.
CAKALELE
1.
Pendahuluan.
Telah menjadi suatu tradisi sejak zaman penjajahan
Belanda, cakalele “modern” dijadikan sebagai tarian menyambut tamu-tamu agung
bila berkunjung ke wilayah-wilayah Maluku. Tarian cakalele merupakan suatu
bentuk penghormatan kepada para tamu karena telah berkenan menginjakkan kakinya
dibumi Moloku kie Raha. Upaya menjelaskan pengertian “cakalele” ini, sekedar
sebagai suatu penjelasan menurut bahasa setempat (Ternate), sesuai dengan makna
dan fungsinya.
2.
Cakalele Menurut Pengertian Sempit.
Cakalele adalah suatu penampilan ujicoba ketahanan jiwa
dan raga dalam upaya mempertinggi mental dan fisik seorang “baru-baru”
(prajurit kerajaan). Pada masa pra-kemerdekaan tarian cakalele ini biasanya
dilaksanakan dalam suatu upacara yang disebut dengan “Legu Kie Se Gam”.
Pada pelaksanaan upacara tersebut, seluruh suku bangsa
yang telah bergabung dibawah panji kekerajaarn Ternate turut mengambil bagian serta memperlihatkan
ketangkasan dan kebolehannya dalam penguasaan ilmu perang yang dipertandingkan
antara suku bangsa di depan sang raja. Di dalam penampilan ini, masing-masing
ingin memperlihatkan ketangkasannya kepada raja dengan ambisi masing-masing
atas fungsinya di kerajaan.
Para peserta ini berasal dari berbagai suku, klan/marga,
yang menyertakan petarung terbaik mereka yang berasal dari seluruh penjuru
kerajaan Ternate. Disini benar-benar terlihat cakalele ditampilkan secara
sungguh-sungguh, karena mereka bertarung dengan sesungguh-sungguhnya. Kebiasaan
ini kemudian ditampilkan pada acara resmi lainnya dan diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia sebagai “Tarian Perang”.
3.
Cakalele Menurut Ethimology.
Menurut etimologi bahasa Ternate, cakalele terdiri dari
dua kata yaitu “caka” dan ”lele”. Caka artinya “setan” dan Lele artinya “mengamuk”, jadi
Cakalele artinya “Setan Mengamuk”. Pengertian setan disini, yaitu seseorang
yang jiwanya dirasuk setan.
Bila seseorang jiwanya telah dirasuki setan, maka ia
tidak takut kepada siapapun dan ia telah haus akan darah manusia. Dengan
demikian bahwa cakalele didalam peperangan ataupun ujicoba ketahanan jiwa raga
seseorang dalam Legu Kie Se Gam, berbeda dengan cakalele yang sekedar
ditampilkan pada upacara resmi lainnya.
Pada upacara resminya, penampilan atraksi serupa cakalele
biasanya disebut “Hasa”, tetapi karena pertarungannya sama dengan cakalele,
maka akhir-akhir ini seringkali disebut juga cakalele. Bedanya, Hasa adalah
hanya merupakan suatu atraksi menyerupai cakalele tetapi para pelaku Hasa sadar
didalam pertarungan karena jiwanya tidak dirasuki setan.
4.
Peralatan Cakalele.
Peralatan cakalele terdiri dari: parang (pedang),
sagu-sagu (tombak), salawaku (perisai). Pada parang atau tombak biasanya terhias selembar lilitan
kain merah yang dipercaya mengandung kekuatan gaib. Begitu pula dengan
salawaku, biasanya dihiasi dengan pecahan porselen piring atau kerang laut yang
berbentuk angka-angka kembang. Angka-angka kembang itulah suatu angka
perhitungan menurut kepercayaan sebagai jimat yang mempan menangkis serangan musuh.
Musik yang mengiringi atraksi cakalele disebut
“Tepe-tepe”, yang peralatannya terdiri dari dua buah tifa dan sebuah gendering.
Penalu tepe-tepe terdiri dari tiga orang.
5.
Cakalele Dalam Peperangan.
Seseorang yang dalam menghadapi peperangan ia telah siap
dengan parang atau tombak beserta salawaku dengan mata terbelalak kemerahan
berlari menuju musuh serta merta berteriak “Aulee… Aulee.. Aulee…” yang artinya
“darah, membanjirlah!”. Maka terjadilah bunuh membunuh sesuai dengan kemauan
setan.
Kebiasaan si pelaku apabila telah mencapai kemenangan, ia
harus meminum darah salah satu musuhnya atau cukup dengan menjilati parang yang
telah dibanjiri darah musuh. Dipercaya agar musuh yang sudah dikalahkan tidak
menghantui si pelaku selama masih hidup.